Jabatan yang
Membawa Malapetaka
Kisah yang akan Anda baca ini
berasal dari cerita Wayang Jawa, dengan lakon “Sumantri Ngenger”. Bambang
Sumantri dan Bambang Sukrosono adalah mahasiswa Maharesi/Mahaguru/Guru
Besar/Profesor Suwandagni. Ketika menjadi mahasiswa, keduanya memperoleh
matakuliah antara lain: ilmu ketatanegaraan, ilmu strategi perang, kesasteraan,
ilmu kanoragan dan lain-lain. Kemampuan intelektual kedua mahasiswa ini relatif
sama.Setelah menamatkan studinya di Perguruan Tinggi Argo Sekar, Bambang
Sumantri berpisah dengan sahabatnya yang sekaligus adik kandungnya, Bambang
Sukrosono. Sumantri berpamitan pada Maharesi Suwandagni, dosennya yang juga
ayah kandungnya, pergi untuk mengabdi kepada Maharaja Arjuna Sosrobahu di
kerajaan Mahespati. Sebetulnya, Bambang Sumantri tidak sampai hati meninggalkan
Ayahandanya dan Adindanya yang sangat dicintai tetapi demi karir terpaksa harus
berpisah.
Singkat cerita, sampailah Sumantri
di Kerajaan Mahespati dan menghadap Maharaja Arjuno Sosrobahu dengan sikap
hormat Sumantri menyampaikan maksudnya untuk mengabdi kepada Maharaja Arjuno
Sosrobahu. Maharaja tidak langsung menerimanya sebagai abdi kerajaan tetapi
Sumantri harus melalui ujian terlebih dahulu. Ternyata Sumantri lulus tetapi
masih ada satu persyaratan lagi yang harus dipenuhi yaitu Sumantri harus dapat
memindahkan “Taman Sriwedari” yang ada di Gunung Nguntoro ke Kerajaan Mahespati
tanpa ada kerusakan walau hanya sehelai daun. Harus utuh 100%. Sanggupkah dia?
Hanya karena ingin “dianggap”
sempurna, seseorang berani mempertaruhkan segala apa yang telah dimiliki.
Kadang harus berbohong pada hati nuraninya sendiri. Padahal tidak ada manusia
yang sempurna di planet bumi atau di planet-planet yang lain. Demikian juga
pada diri pribadi Sumantri, dengan tutur kata yang santun, sambil merangkai
kata-kata yang indah dan cenderung puitis, menyatakan sanggup memindahkan Taman
Sriwedari di Gunung Nguntoro ke Kerajaan Mahespati. Salakah Sumantri? Tidak!
Ikutilah pendapat di bawah ini.
Kita kutip
suatu pendapat dari pujangga :
Maksim
kearifan (fact maxim) yang
dikemukakan Leech (1983) juga berguna untuk mengukur kesantunan suatu tuturan.
Salah satu cara untuk mengukur kesantunan dengan maksim itu adalah skala
untung-rugi (cost-benafit scala).
Dengan kendali konteks, derajat kesantunan suatu tuturan dapat ditentukan.
Dilihat dari mitra tutur, semakin ada untung yang diperoleh mitra tutur, suatu
ungkapan semakin santun; demikian halnya yang sebaliknya.
Kita lanjutkan cerita ini. Dalam
perjalan pulang, dada Sumantri terasa sesak sekali, bagaikan dihimpit Gunung
Mahameru. Betapa berat tugas untuk memindahkan Taman Sriwedari. Dia baru sadar
bahwa dirinya adalah “jalmo manungso” atau manusia biasa bukan seorang
mahadewa.
Dibalik rimbunnya pepohonan, ada
makhluk yang berwajah raksasa dengan tubuh kerdil atau dalam bahasa Jawa
disebut buto bajang, memperhatikan Sumantri yang sedang menangis. Sesekali
makhluk ini menahan nafasnya. Setelah sekian lama makhluk ini memeperhatikan,
tiba-tiba Sumantri menghunus keris pusaka yang diarahkah ke dadanya. Secepat
kilat makhluk cebol melompat sambil merampas keris itu, dan berteriak: “Oalah
kakang Ati kowe ojo suduk sariro. Ono opo kowe kok nganti koyo ngene?” (Oalah
Kakanda Sumantri kamu jangan bunuh diri. Ada apa kamu kok sampai begini?).
Ternyata makhluk itu adalah Sukrosono, adiknya. Keduanya saling berpelukan dan
menagis.
Setelah reda tangisan keduanya,
perlahan-lahan Sumantri menyampaikan kisahnya. Sukrosono mendengarkan kisah
kakaknya dengan rasa iba. Sambil menahan nafasnya, Sukrosono menjajikan akan
membantu memindahkan Taman Sriwedari, walaupun sangat berat baginya untuk
melaksanakan tugas tersebut. Memang wajah dan perawakan Sukrosono seperti
raksasa kerdil tetapi hatinya sangat mulia.
Perbedaan antara Bambang Sumantri
dan Bambang Sukrosono terletak pada “lelaku”. Kecenderungan Sumantri adalah
mencari dan menemukan ilmu hanya dari kulitnya saja. Sedangkan kecenderungan
Sukrosono pada bagaimana mencari dan menemukan hakikat “ruh” dari ilmu yang
dipelajarinya. Sukrosono memahami atau “mangerteni papan dununge” bebener kelawan opo sejatining urip iki.
Sukrosono melakukan
topobroto/bersemedi untuk memohon kepada Sanghyang Wenang/Tuhan yang Mahakuasa
agar diizinkan memindahkan Taman Sriwedari yang ada di Gunung Nguntoro ke Kerajaan
Mahespati. Dengan kehendak Tuhan yang Mahakuasa maka berpindalah Taman
Sriwedari. Kabar berpindahnya Taman Sri Wedari terdengar sampai di Istana
Mahespati. Maharaja Arjuno Sosrobahu sangat gembira bahwa Bambang Sumantri
“telah berhasil” memenuhi permintaannya.
Dewi Citrowati, Putri Maharaja
Citrawijaya dari Kerajaan Magada hatinya berbunga-bunga karena syarat
pernikahan yang diajukan kepada Maharaja Arjuno Sosrobahu untuk memindahkan
Taman Sriwedari sudah dipenuhi. Dalam hal ini, Bambang Sumantri dianggap sangat
berjasa sehingga Maharaja Arjuno Sosrobahu dapat meminang wanita idamannya.
Karena “kesuksesan yang semu” itulah, Sumantri memperoreh “jabatan” Mahapatih
Kerajaan Mahespati dengan gelar kehormatan “Patih Suwondo”.
Saat Dewi Citrowati sedang meninjau
Taman Sriwedari, tiba-tiba dibalik rimbunnya pepohonan muncul sosok raksasa
kerdil dengan wajah yang “nggegilani” atau menjijikkan dan menakutkan. Kontan
saja Sang Dewi berteriak ketakutan. Bambang Sumantri melihat kejadian itu
langsung menghalau adiknya untuk menyingkir dari tempat tersebut.
Ditempat yang agak jauh dari posisi
Dewi Citrowati, Sumantri meminta pada Sukrosono agar meninggalkan Taman
Sriwedari dan pulang ke Pertapan Argo Sekar. Tetapi Sukrosono menolaknya.
Sumantri marah. Akhirnya, Sumantri mengeluarkan senjata panah beserta busurnya
diarahkan ke dada Sukrosono untuk menakut-nakutinya. Panah itu pun melesat
dengan cepat dan menancap persis di jantung Sukrosono. Sungguh tragis nasib
Sukrosono, orang yang sangat disayangi telah tega mengakhiri hidupnya.
Apa yang dapat kita petik dari
perjalan hidup Bambang Sumantri dan Bambang Sukrosono? Di zaman ini apakah
masih ada orang yang memiliki perilaku seperti Bambang Sumantri?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar